Arus Reformisme Islam Dalam Politik Aceh
01 July 2019 | Umum
KEMENANGAN pasangan calon presiden Prabowo-Sandi di Aceh pada pemilu 2019 lalu menimbulkan tafsir politik yang beragam. Tafsir dominan yang sejauh ini-paling tidak yang muncul dalam sejumlah opini dan pernyataan tokoh-menjelaskan bahwa kekalahan Jokowi-Ma’ruf di Aceh karena luas dan dalamnya penyebaran hoaks.
Bahkan seorang sosiolog Aceh sudah menyindir Aceh merupakan “serambi hoaks” ketimbang Serambi Mekkah. Tafsir hipotetis tersebut mungkin ada benarnya, tetapi tidak mendalami secara fundamental karakteristik politik Islam di Aceh.
Karena itu, tafsir hipotetis ini menjadi kurang relevan untuk menjawab persoalan ini secara tuntas dan akademik.
Tulisan ini secara singkat, akan mencoba membangun tafsir lain yang berakar pada karakteristik dan watak politik di Aceh. Sekaligus berdialog dengan tulisan-tulisan sebelumnya yang menyebut Aceh sebagai “serambi hoaks”.
Argumen utama dalam tulisan ini adalah kemenangan Prabowo-Sandi di Aceh karena mayoritas muslim di Aceh kendati secara amaliah mempraktikkan ajaran-ajaran Islam tradisional, tetapi dalam politik mereka cenderung berada dalam arus reformisme Islam.
Argumen ini akan kita dalami lebih jauh dengan sejumlah paradigma teoritis, realitas historis dan empiris.
Paradigma Trikotonomi
Sejauh ini kajian hubungan Islam dan negara di Indonesia, paling komprehensif dibahas oleh Bakhtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (2009). Salah satu paradigma teoritik yang dipakai Bakhtiar Effendy untuk menjelaskan “ketegangan-ketegangan” hubungan Islam dan Negara adalah teori Triktonomi-nya Allan Samson, BJ Bolland, dan Howard Federspiel.
Bakhtiar Effendi memilih pendapat ini sebagai pendapat yang “ditarjihkan” atau pendapat kuat.
Menurut perspektif trikotonomi kekuatan politik Islam Indonesia terpecah dalam tiga kubu. Dengan memusatkan perhatian pada kompleksitas politik Islam, teori ini mengklasifikasi tiga kekuatan dalam politik Islam sebagai fundamentalis, reformis dan akomodasionis.
Teori ini menjelaskan bahwa obsesi masyarakat politik Muslim terhadap negara Islam tidak padam dan masih terus berlangsungnya antagonisme politik antara kalangan santri dan abangan sekuler.
Ketiga kubu ini tidak memiliki pandangan tunggal terhadap stategi dan tindakan politik untukmencapai cita-cita politik umat Islam. Akibanya, mereka dengan mudah dilemahkan dan bahkan dikalahkan oleh semua rezim politik nasionalis (Bakhtiar Effendy, 2009). Pandangan tiga kelompok tersebut sangat berbeda.
Kelompok fundamentalis berpandangan bahwa satu-satunya kekuasaan politik yang absah adalah kekuasaan politik yang bersifat religius. Sementara kelompok reformis dan akomodasionis tidak memiliki pandangan seperti itu.
Bagi mereka sejauh kekuasaan sekuler tidak memusuhi Islam, kekuasaan itu dapatdianggap sah. Agenda politik ideologis pun berbeda di tiga kubu tersebut.
Kelompok fundamentalis memiliki tujuan akhir untuk membentuk sebuah negara Islam. Kelompok reformis memiliki jalan yang lebih demokratis yaitu kemenangan partai-partai Islam melalui pemilihan umum. Sementara kelompok akomodasionis bersedia berkompromi dengan menurunkan seruan ideologis dan politisnya tetapi dipertukarkan dengan jaminan-jaminan administratif dan politis dalam kekuasaan (Bakhtiar Effendy, 2009).
Kubu reformis merupakan kubu yang secara politik tidak menolak kekuasaan sekuler sejauh mereka tidak memushi Islam, namun mereka berupaya untuk membangun hubungan yang selaras antara politik santri dengan negara. Tetapi, upaya ini banyak mengalami kegagalan karena kubu reformis mengalami kekakuan ideologis, sehingga menjadi kurang lentur.
Akibatnya, kubu ini menjauh dari kubu akomodasionis dan mendekati kubu fundamentalis. Sebab itu dapat dipahami mengapa kubu nasionalis sekuler lebih dekat dengan kubu akomodasionis, sementara kubu reformis merangkul kubu fundamentalis.
Kultur Reformisme
Atas dasar konfigurasi paradigmatis di atas yang disusun atas perbedaan garis ideologis tersebut, peta pemilihan umum 2019 secara nasional memiliki kedekatan dengan fenomena tersebut.
Mahfud MD menyebutnya dengan istilah garis keras bagi daerah-daerah yang memiliki kedekatan dengan kubu Prabowo-Sandi. Sebutan Mahfud MD tersebut bukan tanpa sebab, salah satunya adalah alasan konfigurasi ideologis di tubuh umat Islam di atas.
Kubu akomodasionis berada di kubu Jokowi Ma’ruf, sementara kubu reformis berada di kubu Prabowo-Sandi. Sementara kubu fundamentalis memang menolak untuk mengakui kontestasi politik sekuler. Aceh memiliki kultur reformisme yang kuat di dalam persoalan politik, walaupun memiliki amaliah keagamaan yang berakar pada praktis tradisionalis.
Pertumbuhan dayah-dayah di Aceh dan kuatnya pengaruh keagamaan ulama dayah di tengah masyarakat menunjukkan bahwa Aceh adalah wilayah yang mempraktikkan ajaran keagamaan Islam tradisionalis secara merata, kecuali di sejumlah kawasan perkotaan.
Aceh juga memiliki pengalaman panjang mendukung fatwa-fatwa Persatuan Ulama Aceh (PUSA) dalam konflik dengan kelompok uleebalang dan nasionalis sekuler dalam revolusisosial dan pemberontakan DI/TII.
PUSA dipandang merupakan representasi kubu reformis Islam di Aceh. Menariknya para pendukung PUSA dan DI/TII di Aceh adalah masyarakat Islam yang secara amaliah sangat terikat dengan praktik keagamaan tradisionalis yang dikembangkan oleh para ulama dayah.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa gagasan-gagasan PUSA dan DI/TII merupakan bagian dari arus reformisme Islam di tingkat nasional yang merambah ke Aceh dan mengalami penguatan dalam gagasan negara Islam atau formalisasi syariat Islam.
Pada era pemilihan umum Orde Baru (1966-1998), Aceh menjadi basis kuat bagi partai-partai Islam. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlambang ka’bah terus menjadi pemenang pemilu di Aceh walaupun terjadi rekayasa hasil pemilu oleh Orde Baru.
Hanya sejak pemilu 1987 PPP dikalahkan di Aceh tapi dengan presentase yang sangat tipis ketika Aceh dipimpin Gubernur Ibrahim Hasan. Pada pemilihan umum 2004, ketika salah satu tokoh reformis Amien Rais mengikuti pemilu presiden pertama secara langsung ia memperoleh kemenangan di Aceh sebesar 55, 06 persen mengalahkan SBY-JK.
Hal ini menunjukkan kedekatan hubungan emosional antara pemilih di Aceh dengan tokoh-tokoh reformisme Islam di arena politik lebih kuat dibandingkan tokoh-tokoh nasionalis, walaupun mereka tidak sepakat dengan praktik amaliah keagamaan yang dibawa kubu reformis.
Pada pemilihan umum 2009 ketika tidak ada calon presiden yang memiliki keterkaitan khusus dengan kelompok Islam, maka SBY-Boediono memenangkan pemilu di Aceh. Padahal pada 2004 SBY-JK kalah di Aceh, kendati dalam konteks kedekatan hubungan politik Aceh lebih dekat dengan SBY-JK karena upaya-upaya perdamaian yang sedang dalam rintisan saat itu.
SBY-Boediono memangkan pemilu 2009 di Aceh, karena dua faktor yaitu perdamaian Aceh dan adannya nuansa kedekatan mereka dengan umat Islam dibandingkan dengan capres lainnya.
Watak Politik
Pada pemilihan umum 2019, isu-isu keagamaan mengalami penguatan di tingkat nasional.Sebaran informasi yang sangat cepat membuat pemilih menerima tumpah ruah informasi, baik yang faktual atau hoaks.
Tetapi, katakanlah hoaks menjadi salah satu pemicu kekalahanJokowi-Ma’ruf di Aceh, tetapi tingkat penyebaran hoaks merata di seluruh Indonesia. Toh, Jokowi-Ma’ruf tetap unggul. Sebab itu, tidak terlalu tepat menyimpulkan bahwa hoaks adalah sumber utama kekalahan politik Jokowi-Ma’ruf di Aceh.
Watak politik Islam di Aceh memiliki hubungan yang kuat dengan kelompok reformis Islam di tingkat nasional. Bagi masyarakat Aceh, ketika berbicara tentang “perjuangan politik Islam”, maka hal itu menjadi hitam-putih. Hal ini yang menggerakkan dukungan terhadap DI/TII di Aceh, dukungan terhadap partai-partai Islam, kemenangan Amien Rais pada pilpres 2004 di Aceh. Kekalahan partai-partai nasionalis sekuler, dan juga kemenangan Prabowo-Sandi di Aceh yang didukung sejumlah ulama terkemuka dari kalangan dayah.
Akhirul kalam, sejauh ini saya telah mengajukan sejumlah kajian paradigmatik, historis dan data empiris untuk mendukung argumentasi bahwa karakteristik muslim di Aceh adalah tradisionalis dalam amaliah (praktik) keagamaan, tetapi menjadi pendukung reformisme dalam bidang politik Islam.
Semoga dengan memahami karakteristik ini, para elit politik di Aceh dapat mencari formula yang relevan untuk mendinginkan hubungan Aceh dengan rezim terpilih di Jakarta ba’da Pilpres 2019. Wallahu’alam bisshawab.***
Sumber tulisan: http://modusaceh.co/news/arus-reformisme-islam-dalam-politik-aceh/index.html